Seberapa dahsyat letusan Gunung Merapi dulu dan sekarang? Pertanyaan itu dilontarkan Kepala Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Widya Nayani saat membuka perbincangan dengan Media Indonesia, Selasa (9/11).
''Merapi meletus tetap bencana baik dulu atau sekarang. Tapi dalam catatan sejarah, letusan Merapi pada 1006 telah mengubur candi-candi Hindu dengan lahar sampai 7 meter. Ini letusan Merapi yang benar-benar besar,'' terang dosen arkeologi di Fakultas Ilmu Budaya UGM ini.
Cerita soal letusan Merapi memang tidak pernah ditulis dalam catatan sejarah. Barulah pada abad V sudah dikenal adanya tradisi menulis, letusan Merapi mulai didokumentasikan melalui catatan sejarah ataupun prasasti.
Prasasti Rukam berangka tahun 829 Saka atau 907 Masehi yang ditemukan di Temanggung, Jawa Tengah, menyebutkan desa Rukam pernah dilanda bencana letusan gunung berapi. Kemungkinan gunung yang dimaksud adalah Merapi.
Letusan yang hebat juga pernah terjadi pada 1672 sebagaimana ditulis Babad Tanah Jawi. Dalam kitab tersebut digambarkan meletusnya Merapi menimbulkan suara menggelegar dan menakutkan. Batu-batu besar beradu, beterbangan bercampur api. Jawa bagian tengah dilanda hujan batu. Lahar mengalir kencang di sungai. Banyak desa terkubur dan hancur. Kematian ada di mana-mana. Rakyat Mataram ketakutan ketika lahar panas dan hujan abu menerjang.
R.W. van Bemmelen dalam bukunya The Geology of Indonesia terbitan 1949, dijelaskan letusan Merapi yang cukup dahsyat mengakibatkan sebagian besar puncak Merapi lenyap. Bahkan terjadi pergeseran lapisan tanah ke arah barat daya. Terjadilah lipatan yang antara lain membentuk Gunung Gendol. Letusan itu disertai gempa bumi, banjir lahar, serta hujan abu dan batu-batuan yang sangat mengerikan.
Tulisan Bemmelen ini berdasarkan hasil observasinya memantau aktivitas Merapi pada 1930, di pos pemantau Merapi Babadan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Widya menegaskan aktifitas Merapi memang telah mengubur banyak kota kuno di sekitar Merapi. ''Merapi tidak hanya identik dengan kawasan Yogyakarta saja. Mulai dari Magelang, Muntilan, Yogyakarta, Klaten dan Boyolali. Dan dari kota-kota itu, telah ditemukan banyak situs yang menandai adanya peradaban besar di masa lampau,'' terangnya.
Tidak hanya kebudayaan Hindu saja yang berkembang di sana. Ada juga kebudayaan Budha yang telah mewariskan budaya dunia Borobudur, Mendut dan sebagainya.
''Bahkan di luar ring Borobudur, ada candi-candi yang melingkarinya. Cuma semuanya belum ketemu, diperkirakan masih tertimbun lahar Merapi,'' ujarnya memprediksi.
Hal itu sangat mungkin terjadi lantaran seringnya Merapi meletus, membuat candi yang semula ditemukan kemudian kembali menghilang, kemudian muncul lagi. Beberapa candi mengalami nasib seperti itu, lantaran terkubur debu vulkanik dan lahar.
Widya menambahkan keberadaan candi di masa itu tidak hanya sebagai upacara keagamaan. Candi juga sebagai pusat pengembangan teknologi, budaya, ekonomi, dan politik.
''Sekarang Anda bisa bayangkan bagaimana membuat candi Prambanan warisan Mataram kuno yang tingginya 47 meter itu? Ada teknologinya. Bagaimana membuat relief? Ada teknologinya. Ini yang seringkali tidak diketahui masyarakat sekarang,'' jelasnya.
Di sisi lain, perkembangan ekonomi juga cukup pesat karena pertanian dan peternakan cukup maju. Lantaran kawasan di lereng Merapi cukup subur. Merapi telah memberikan berkah berupa limpahan lumbung pangan.
''Maka perdagangan juga maju pada masa itu. Terlihat dari temuan keramik kuno di sekitar situs. Keramik tidak pernah dibuat oleh masa kerajaan Hindu dan Budha di Jawa. Itu semua dari luar.''
Widya pun yakin masih ada kota-kota kuno yang belum terungkap sampai kini karena masih berada di bawah timbunan lahar berabad-abad lampau.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar